BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat
dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan
kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu,
suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang
dimaksudkan dengan emosi di sini bukan terbatas pada
emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang
yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal)
maupun pada tingkat yang (mendalam).
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa ketrampilan EQ
yang sama untuk membuat anak siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau
untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya pada
dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah
berkeluarga.
Berbeda dengan IQ, EQ sulit untuk diukur, namun walaupun kita
tidak dapat begitu saja mengukur bakat atau sifat-sifat khas seseorang -
misalnya kemarahan, percaya diri atau sikap hormat kepada orang lain - kita
dapat mengenali sifat-sifat tersebut pada anak-anak dan sepakat bahwa
sifat-sifat tersebut mempunyai nilai penting.
Barangkali perbedaan yang paling penting untuk diketahui
antar IQ dan EQ adalah, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan,
sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan
apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar
untuk meraih keberhasilan. Disinilah orang tua berpeluang dan mempunyai
kesempatan yang tidak dapat diulang, untuk membentuk pribadi anak yang
mempunyai kecerdasan emosional yang baik.
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi dengan kecerdasan
emosional yang ideal, perlu kesabaran dan ketelitian. Usaha membentuk
kecerdasan emosional ini bukanlah suatu yang harus membebani orang tua dalam
mendidik anaknya, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Satu hal penting yang
perlu diingat adalah bahwa satu perubahan saja dapat memberikan efek yang luar
biasa pada kehidupan anak kita. Dengan kata lain, menekankan pada salah satu
aspek (dalam kecerdasan emosional) akan mendatangkan efek bola salju.
Dengan melihat kualitas-kualitas yang ditunjukkan dalam
kecerdasan emosional, kita akan sepakat bahwa karakter-karakter seperti itulah
yang diharapkan oleh kita sebagai makhluk sosial dan dengan memiliki beberapa
kualitas tersebut seorang anak atau orang dewasa akan dapat menghadapi
permasalahan-permasalahan hidup yang semakin komplek dan berhubungan dengan
orang lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian
emosi?
2. Apa itu
konsep dasar emosional?
3. Apa
pengertian EQ dan IQ?
4. Apa-apa
saja Keterampilan EQ yang harus diingat?
5. Bagaimana
Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak dalam Perencanaan Pembelajaran?
C. Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui pengertian emosi?
2.
Mengetahui konsep dasar emosional?
3.
Mengetahui pengertian EQ dan IQ?
4.
Mengetahui Keterampilan EQ yang harus diingat?
5. Mengetahui
Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak dalam Perencanaan Pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Emosional
Kecerdasan
emosional adalah suatu cara baru untuk membesarkan anak. mempelajari
perkembangan kepribadian anak intelligence quotient (IQ) merupakan salah satu
alat yang banyak digunakan untuk mengetahuinya. Namun belakangan berkembang
suatu alat yang disebut emotional quotient (EQ) yang oleh para pakar dianggap
sebagai salah satu alat yang baik untuk mengukur kecerdasan emosional anak.
Menurut Lawrence Shapiro (1997), kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada
(a) keuletan, (b) optimism, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Kecerdasan
emosional pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, tetapi
melalui suatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau “karakter”.
Berbagai penelitian menemukan keterampilan sosial dan
emosional akan semakin penting
peranannya dalam kehidupan daripada kemampuan intelektual. Atau dengan kata
lain memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan
ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan
kognitif verbal dan nonverbal.
Pertanyaannya
kemudian adalah apakah cerdasan emosional itu? Istilah kecerdasan emosional
pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari Universitas of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan. Kualitas-kualitas ini diantara lain adalah (1) empati, (2)
mengungkapkan dan memahami perasaan, (3) mengendalikan amarah, (4) kemandirian,
(5) kemampuan menyesuaikan diri, (6) diskusi, (7) kemampuan memecahkan masalah
antarpribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) keramahan, dan (11) sikap
hormat. Berperannya emosional dalam aktivitas kehidupan manusia, menjadikan
sebagian orang sangat tertarik untuk mempelajarinya. Ketertarikan ini terutama
diarahkan pada konsep kecerdasan emosional yang dapat berperan dalam
membesarkan dan mendidik anak-anak. Di samping itu, orang menyadari pentingnya
konsep ini di lapangan kerja maupun di hampir semua tempat lain yang
mengharuskan manusia saling berhubungan.
Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama dapat membuat anak
atau siswa bersemangat tinggi dalam belajar, dan anak yang memiliki EQ yang
tinggi disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua
puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah
berkeluarga. Para peneliti mempelajari pola Email yang dibuat oleh semua
ilmuwan itu, dan menemukan bahwa ilmuwan-ilmuwan yang tidak disukai karena
rendahnya keterampilan emosional dan sosialnya cenderung disisihkan oleh
rekan-rekannya, sebagaimana halnya anak yang tidak bisa bekerja sama dalam
permainan di arena bermain. Namun arena bermain di Bell Labs adalah ruang
mengontrol elektronik, yang selain digunakan untuk bergosip, juga sebagai
tempat orang bertukar informasi profesional yang penting dan mencari pemecahan
ketika proyek yang dihadapi sedang macet. Studi itu menyimpulkan bahwa isolasi
sosial dapat dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya EQ, yang berakibat
menurunnya prestasi kerja.
B. EQ
Versus IQ
Para
ilmuwan sosila berdebat tentang apa sebenarnya yang membentuk IQ seseorang.
Mereka mengungkapkan bahwa IQ dapat diukur denganmenggunakan uji-uji kecerdasan
standar, misalnya wechsler intelligence scales, yang mengukur baik kemampuan
verbal maupun nonverbal, termasuk ingatan perbendaharaan kata, wawasan,
pemecahan masalah, abstraksi logika, persepsi, pengolahan informasi, dan
keterampilan motorik visual. “Faktor inteligensi umum” yang diturunkan dari
skala ini yang disebut IQ dianggap sangat stabil sesudah anak berusia enam
tahun dan biasanya berkorelasi dengan uji-uji bakat seperti ujian masuk
perguruan tinggi.
Keterampilan
EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkat konseptual maupun di dunia
nyata. Idealnya kedua keterampilan tersebut dapat dikuasai oleh seseorang.
C.
Anatomi
Saraf Emosi
Korteks,
yaitu bagian otak yang digunakan untuk berpikir. Kadang-kadang disebut
neokorteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi
yakni system limbic (hippocampus), tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua
bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosional seseorang. Korteks terdiri
atas empat lobus (belahan otak), dan kerusakan pada lobus tertentu akan menyebabkan
masalah tertentu pula. Adapun belahan otak tersebut adalah: Lobus Oksipitalis
terletak dibagian belakang kepala merupakan bagian otak yang mengendalikan
penglihatan. Lobus Temporalis terletak tepat dibelakang telinga dikedua sisi
kepala, kerusakan bagian ini akan menyebabkan masalah pada memeori jangka
panjang.
Menjadi
Orang Tua Ber-EQ Tinggi Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hubungan yang
terbuka dan saling menyayangi dengan anak akan memberikan efek jangka panjang
berupa meningkatnya citra diri, keterampilan menguasai situasi, dan mungkin
kesehatan anak.
Bagi
anak-anak dibawah 9 tahun, Barkley menganjurkan agar orang tua menetapkan wkatu
khususu untuk berpartisipasi dengan anak-anaknya dalam kegiatan bermain. Selama
waktu itu orang tua harus menciptakan suasana yang tidak menuntut penilaian
tetapi menarik, menggairahkan, dan menunjukkan penerimaan.
D. Menjadi
Orang Tua Ber-EQ Tinggi
Dalam salah satu posting yang saya terima di fanpage saya,
salah seorang tua berkata “Saat ini kelihatannya semakin sulit untuk
menjadi seorang tua dan juga menjadi semakin sulit menjadi seorang anak!” Saya
pikir, itu memang beralasan! Bayangkan saja daftar keluhan orang tua sekarang
ini: pelajaran anak yang semakin sulit (bahkan menurut salah satu orang tua,
apa yang dipelajari anak kelas 1 SD sekarang, dulunya ada bahan pelajaran kelas
di 1 SMP dulu). Kebutuhan dan keperluan bagi anakpun semakin banyak (sekarang
anakpun perlu pakai HP, juga harus ada les ini dan itu). Selain itu, anak
juga jadi makin pinter, jadi kalau nggak bagus menjelasin, umumnya akan di-challenge
balik oleh anaknya. Wah!
Tapi jangan salah. Anakpun makin banyak mengeluh, simak saja
keluhan mereka seperti: orang tuanya yang makin sibuk, anak nggak merasa
diurus dan orang tua yang taunya hanya kasih ultimatum. Juga orang tua yang
cenderung memaksa (sebenarnya orang tua yang suka piano, tapi anaknya dipaksa
les piano), ortu yang tiap hari cuma bisa ngomel, hingga obsesi diri orang
tuanya tapi anaknya yang dituntut untuk memenuhi.
Itulah sebabnya, dalam kondisi seperti sekarang ini, orang
tua semakin dituntut untuk memiliki EQ ataupun level Kecerdasan Emosional atau
biasa disingkat EQ (emotional quotient) yang tinggi. Nah, dalam program popular
Kecerdasan Emosional yang tim kami ajarkan, prinsip EQ sebenarnya sederhana.
Orang tua harus bisa mengelola dirinya (intrapersonal) sebelum bisa mengelola
orang lain (interpersonal).
Menurut Chief Operating Officer Six Seconds sebuah lembaga EQ
terkemuka di dunia, Joshua Freedman, dikatakan bahwa “Banyak anak EQ-nya
rendah, karena orang tuanya juga punya EQ yang rendah!”. Intinya, banyak
ortu yang bermasalah dengan dirinya dan bermasalah di kantor, anaknya pun jadi
ikut bermasalah. Misalkan saja, kami pernah menemukan sebuah kasus dengan
seorang wanita yang agak bermasalah di kantor. Orang-orang tidak suka
kepadanya. Orangnya termasuk tipe yang ngeyelan, marah-marah,dan banyak
berkeluh kesah. Sampai-sampai anaknya pun berantem dengan dia. Namun,
menariknya, tatkala bertemu tim pengajar kami, yang dia ceritakan justru
anaknya yang bermasalah! Padahal, jelas-jelas yang perlu dibereskan dulu adalah
ortunya, bukan anaknya!
Berdasarkan ide seorang pakar EQ parenting terkemuka,
Patricia Patton, sebenarnya ada 5 ketrampilan EQ yang perlu dikembangkan olah seorang
tua, agar dapat menddik anaknya supaya ber-EQ tinggi pula. Ketrampilan ini pula
yang menjadi dasar pengembangan kurikulum EQ di berbagai belahan dunia, yang
juga kami berikan pelatihannya di Indonesia. Nah, apakah ketrampilan EQ
tersebut?
Pertama adalah self-awareness atau ‘kesadaran diri’.
Masalahnya, pada orang tua yang self awareness-nya kurang dia tidak merasa
bahwa dirinyalah yang menjadi sumber masalah. Dia tidak tahu gaya komunikasinya
bermasalah. Contoh saja, kami pernah mendapat kasus anak yang menurut orang
tuanya sering membantah, ternyata justru menurut anaknya, gaya bicara bapaknya
yang seorang direktur itulah yang membuatnya marah. Bahkan, anaknya berkata, “Papa
itu udah direktur di kantor, tapi di rumah pun kita diperlakukan kayak bawahan
dan jongosnya papa”. Di sisi lain, juga penting bahwa orang tua aware
dengan anaknya: misalkan ikutkan dalam berbagai kegiatan (lomba, dll) lantas
apresiasi usaha dan kesuksesan mereka (jangan suka mendiscount kehebatan anak
dengan kalimat, “hebat sih tapi…”).
Kedua, mood management atau ‘manajemen suasana hati’
dari orang tua. Ortu yang mood management payah biasanya akan dicontoh pula
oleh anak-anaknya. Misalkan, ortu yang marahnya sering tak terkendali (misalkan
suka teriak-teriak), ataupun yang moodnya berubah cepat , biasanya anaknya pun
menjadi moody dan kurang periang. Pada dasarnya anak mencontoh mood
management dari orang tuanya.
Ketiga soal self-motivation atau motivasi
diri. Biasanya, orang tua yang motivasinya rendah seperti mudah frustrasi
serta tidak berani coba ini itu, akan pula mendapatkan anak yang
demikian. Sebaliknya, ortunya mungkin sedang bermasalah, tetapi tidak
menunjukkan semangat frustrasi di mata anaknya. Maka, anaknya pun akan belajar
tegar. Saya teringat kisah pebinis minuman mineral yang mengatakan suksesnya
adalah berkat teladan motivasi ibunya, “Saat tidak punya uang, ibu
tersenyum dan berkata, “Sesulit apapun, kalau bersama-sama kita akan
melewatinya”. Itulah yang tidak pernah kulupakan”. Menceritakan
kisah-kisah orang sukses pun bisa menjadi motivasi yang baik bagi anak-anak
kita.
Keempat, ketrampilan EQ orangtua berikutnya adalah impulse
control atau ‘pengendalian keinginan’. Kadang-kadang, ada orang tua yang
terlalu impulsif atau melakukan apapun yang diinginkan tanpa pikir panjang.
Lama-kelamaan, anakpun belajar. Disinilah, menurut Patricia Patton, orang tua
harus mengajarkan jangan langsung melakukan sesuatu tapi mikir dulu akibatnya.
Kalau perlu, sebelum anak melakukan sesuatu, orang tua mengajak anaknya membuat
scenario, kira-kira apakah yang akan terjadi. Lama-kelamaan, ketrampilan
ini akan menjadi ketrampilan EQ yang sangat penting yakni “consequential
thinking” atau berpikir konsekuensi. Inilah yang akan membuat anak-anak
mampu membuat keuputsan yang lebih dewasa di masa depannya.
Akhirnya, kelima adalah people skills ataupun
‘keterampilan berhubungan dengan orang’ . Masalahnya, banyak orang tua yang people
skills-nya kurang. Akibatnya, mereka kuper, nggak mau terlibat, serta
mudah ribut dengan orang. Sebuah survey EQ menemukan ada korelasi yang tinggi
antara para criminal di enjara dengan orang tua yang ketrampilan sosialnya
rendah. Karena itulah, sebagai orang tua, Anda perlu memberi kesempatan untuk
anak bergaul dan jangan hanya mau bergaul dengan kalangan sosial tertentu.
Ingatlah, semakin bervariasi, semakin anak-anak bisa belajar untuk menghargai
perbedaan.[1]
E.
Emosi
dari Segi Moral
Ada dua
kelompok emosi, yaitu: Emosi Negatif, sifatnya dapat memitivasi anak-anak untuk
belajar dan mempraktikan perilaku prososial, termasuk (a) takut dihukum, (b)
kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain, (c) rasa bersalah bila gagal
memenuhi harapan seseorang, (d) malu bila berbuat sesuatu yang tidak dapat
diterima orang lain.
Emosi Positif akan membentuk moral anak, adalah empati dan apa yang disebut dengan naluri pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.
Emosi Positif akan membentuk moral anak, adalah empati dan apa yang disebut dengan naluri pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.
F.
Empati
dan Kepedulian Kepada Anak
Salah
satu unsur dari emosional adalah empati. Empati merupakan suatu sikap
kepribadian seseorang di mana seseorang mampu menempatkan diri dalam posisi
orang lain.
Para
psikolog perkembangan menegaskan bahwa sesungguhnya ada dua komponen empati, yaitu (1) reaksi emosi kepada orang
lain yang normalnya berkembang dalam enam tahun pertama kehidupan anak-anak,
dan (2) reaksi kognitif yang sampai sejauh mana ank-anak dari sudut pandang
atau perspektif orang lain.
G.
Mengembangkan
Empati dan Kepedulian
Keterampilan
memahami sesuatu dengan perspektif orang lain ini memungkinkan seorang anak
mengetahui kapan bias mendekati teman yang sedih dan kapan membiarkannya
sendiri.
Para
psikolog perkembangan menegaskan bahwa sesungguhnya ada dua komponen empati: reaksi emosi kepada orang lain yang
normalnya berkembang dalam enam tahun pertama kehidupan anak dan reaksi
kognitif yang menentukan sampai sejauh mana anak-anak ketika sudah lebih besar
mampu memandang sesuatu dari sudut pandang atau perspektif orang lain.
H.
Keterampilan
EQ yang Harus Diingat
Hal yang
perlu diingat dalam keterampilan EQ ini adalah : Ajarkan nilai kejujuran kepada
anak sejak mereka masih muda dan konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka
bertambah. Pemahaman anak mengenai kejujuran bias berubah, tetapi pemahaman
anad jangan berubah. Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan
perbincangan sejak anak masih sangat muda dengan memilihkan buku-buku dan video
untuk menikmati bersama anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami
berubahnya kebutuhan anak atas privasi.
Cara
Meningkatkan Kecerdasan Emosional (EQ)
Beberapa cara yang dipaparkan di atas, ada beberapa
yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional
yang kami ambil dalam artikelnya Mocendink, yaitu:
1. Mengenali emosi diri
Ketrampilan
ini meliputi kemampuan Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda
rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus
dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa
contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa
bersalah, kesepian
2. Melepaskan emosi negatif
Ketrampilan
ini berkaitan dengan kemampuan Anda untuk memahami dampak dari emosi negatif
terhadap diri Anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun
memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi
seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta
dapat menyebabkan stres. Jadi, selama Anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda
justru Anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri Anda. Solusinya,
lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar
sehingga Anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif
dari emosi negatif yang muncul.
3. Mengelola emosi diri sendiri
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif
atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk
melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi
adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita
untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai
kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu : Pertama
adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda. Kedua
berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita
pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan
bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya.
Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling
penting dalam manajemen diri, karena kitalah
sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4.
Memotivasi diri
sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai
tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian,
untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.
Kendali diri emosional–menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati–adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Ketrampilan
memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala
bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih
produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5.
Mengenali emosi
orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita
memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan
ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah
yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu
sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia
secara efektif.
6.
Mengelola emosi
orang lain
Jika ketrempilan mengenali emosi orang lain
merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola
emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain.
Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas
dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia. Ketrampilan mengelola
emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat
mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang
kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau
organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi
kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
7.
Memotivasi
orang lain.
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah
kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain.
Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan
menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang
tangguh dan andal.[2]
I.
Emosi
Moral Negatif: Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Membuat
anak merasa malu atas perbuatan anti sosialnya merupakan cara yang manjur untuk
mengubah perilaku ini. Emosi negative rasa malu dan rasa bersalah dapat
dimanfaatkan secara konstruktif untuk membentuk perilaku moral anak.
Intisari
terapi kognitif adalah mengusahakan anak-anak (orang dewasa juga) membayangkan
maslah mereka dengan cara baru sampai mereka mulai meyakini pikiran-pikiran
baru tersebut. Keyakinan baru ini
selanjutnya memungkinkan munculnya perasaan dan perilaku yang berbeda.
J.
Aplikasi
Pertimbangan Faktor Emosional Anak dalam Perencanaan Pembelajaran
Emotional
Qoutient (EQ) merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual anak, hal
ini sejalan dengan pandangan Semiawan bahwa stimulasi intelektual sangat
dipengaruhi oleh keterlibatan emosionl, bahkan emosi jugaamat menentukan
perkembangan intelektual anak secara bertahap[3] artinya
secara timbal balik faktor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional.
Kaphin & Sadock (1992)[4] misalnya
seorang psikiater, mengemukakan bahwa emosi sebagai keadaan perasaan yang
kompleks yang mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku, yang berkaitan
dengan afek (affect) dan suasana perasaan/suasana hati (mood), sementara
Goleman (1995), seorang psikolog, mendefinisikan emosi adalah perasaan dan
pikiran khas; suatu keadaan biologis dan psikologis; suatu rentang kecenderungan-kecenderungan
untuk bertindak.[5]
Silverman (1986), seorang psikolog,
menyatakan bahwa emosi adalah perilaku yang terutama dipengaruhi oleh tanggapan
mendalam yang terkondisikan.[6]
Adapun
Atkinson dkk., (1995)[7]
mengemukakan beberapa tipe emosi yang muncul dari sistem limbik itu antara
lain: (1) emosi yang digolongkan ke dalam senang dan tidak senang memiliki
rentang (stan) yang panjang dalam intensitas. Misalnya: senang karena puas
dengan ekstasi, sedih karena tidak suka berkekurangan, takut karena diancam
akan ditodong dan sebagainya; (2) senang (joy), merupakan kebanggaan dan
respons cepat yang berhubungan dengan pencapaian tujuan dan pemenuhan
kebutuhan. Senang ini selalu mengurangi
Masalah
kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan yang menyimpang, lebih-lebih jika
seseorang dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya
akan cenderung untuk melakukan penyimpangan, mungkin terhadap system social
ataupun terhadap pola-pola kebudayaan. Ada beberapa sifat khusus yang dapat
menimbulkan kejahatan, yaitu sebagai berikut: Sakit Jiwa ( konflik mental yang
berlebihan, cenderung antisocial, pernah melakukan dosa besar/berat)
a)
Sakit
Jiwa
Orang yang terkena sakit jiwa
mempunyai kecenderungan untuk bersikap antisosial. Sakit jiwa ini bisa
disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau karena pernah
melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa besar dan berat, sehingga ia
menjadi sakit jiwa. Karena sakit jiwa, seseorang mempunyai kecenderungan untuk
melakukan penyimpangan. Boleh jadi penyimpangan itu berupa tindakan kejahatan
dalam ketidaksadarannya. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang terkena
penyakit jiwa menurut hukum tidak dikenakan sanksi, tetapi ia segera diamankan
atau dirawat di rumah sakit jiwa.
b)
Perkembangan
Emosional
Masalah
emosional erat hubungannya dengan masalah sosial yang dapat mendorong seseorang
untuk berbuat menyimpang. Hal ini terjadi karena diakui bahwa seseoarng dalam
perkembangan kepribadiannya tidak dapat dilepaskan
denagn perkembangan emosional.[8]Teori
Freudianisme dan teori psikobiologi menekankan pada perlunya peran ego dalam
diri setiap individu. Jika ego lemah, emosi akan mudah terpicu sehingga dapat
melakukan hal-hal yang melanggar batas.
c)
Perkembangan
Mental
Mental
ada kaitannya dengan daya inteligensi. Jika seseorang mempunyai daya
inteligensi yang tajam dan dapat menilai realitas, ia semakin mudah untuk
menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan sebaliknya.
d)
Anomi
Masa
anomi ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak
dalam keadaan yang baru. Sebagai ukuran orang akan menjadi anomi (kebingungan)
adalah (a) di kala ia berhadapan dengan suatu kejadian atau perubqahan yang
belum pernah dialaminya, dan (b) di kala ia berhadapan dengan situasi yang
baru, ketika harus menyesuaikan diri dengan cara-cara yang baru pula.
K.
Aplikasi
Emosi dalam Kehidupan Sehari – hari
1.
Proses emosi dapat dijelaskan dari proses
fisiologik, yaitu terjadinya emosi ditandai oleh adanya perubahan dalam diri
(visceral change). Perubahan dalam diri selama emosi dipengaruhi oleh sistem
saraf autonomic, kelenjar endokrin, dan sistem syaraf pusat. Hypothalamus dan
cerebral cortex memilki peranan yang sangat penting dalam proses emosi. Hypotalamus
ini bekerja mengontrol system saraf autonomik, selanjutnya mengawali dan
memulai terjadinya kondisi dasar dan emosi. Cerebral Cortex bertindak sebagai
penggerak perbuatan emosi yang keadaannya tidak teratur tersebut.
2.
Perubahan dalam reflek kulit Galvanis-RKG (Galvanis
Skin Reflex-GSR), sirkulasi ( termasuk di dalamnya perubahan tekanan darah,
perubahan kimiawi dan distibusinya), aktivitas “Gastrointensinal”(panas badan),
respirasi/berkeringat, berdirinya bulu kuduk, ukuran pupil mata, dan
sebagainya. Semuanya merupakan komponen-komponen yang menandai secara fisik
terjadinya emosi.
3.
Kondisi bangkitnya (Arousal State) emosi dan
motivasi sangat mirip satu sama lain. Semakin tinggi status bangkitnya,
cenderung diikuti oleh semakin tingginya intensitas dan kuatnya emosi. Meskipun
demikian, kebangkitan fisiologik bisa menghasilkan tipe-tipe emosi yang
berbeda, tergantung lingkungan di mana kebangkitan itu terjadi. Misalnya kita
sebenarnya maumarah, tetapi karena di
samping kita ada “mertua atau calon mertua”, bentuk marah kita jadi berbeda.
Ini artinya Proses Cerebral mempersepsi situasi dan menafsirkan sensasi selalu
berbasis pada keadaan lingkungan.
4.
Takut dan Marah misalnya, merupakan akibat dari
proses fisiologikal yang berbeda. Pada saat takut, adrenalin berada dalam aliran
darah, respirasi meningkat, reflex kulit galvanis (RKG) menurun, tekanan pada
otot-otot mulai terjadi dalam waktu singkat. Saat marah, nonadrenalin dibawa ke
dalam aliran darah, diikuti oleh berkurangnya respirasi, meningkatkan reflex
skin galvanis, tekanan otot bersifat menyeluruh dan terjadi tekanan darah yang
meningkat.
Implikasi
Emosi
Penjelasan proses emosi yang secara
umum dan ringkas dapat dipetik sebuah implikasi bahwa dengan diketahuinya emosi
dan sebab-sebabnya, akan dapat diambil manfaat atau kegunaan, baik untuk
keperluan penelitian dan pengembangan ilmu maupun untuk keperluan penelitian
dan pengembangan ilmu maupun untuk keperluan praktis.
a. Keperluan
penelitian dan pengembangan
Dalam
bidang keperluan penelitian, dapat dicontohkan adanya bentuk penelitian yang
disebut pupilometrik. Pupilometrik adalah suatu studi tentang perubahan ukuran pupil pada manusia. Pupil
menjadi melebar bila individu melihat rangsangan yang menarik dan mengerut (contract)
ketika seseorang berfokus pada objek yang membosankan dan tidak menyenangkan.
b. Keperluan
praktis
Dalam
implikasi praktis, pendekatan dan pemahaman emosi dapat diterapkan sebagai
suatu alat untuk mendeteksi kebohongan seseorang. Di negara maju seperti
Amerika, Inggris, dan sebagainya, alat detektor bohong telah dikembangkan
sebagi alat untuk untuk mendeteksi seseorang yang dapat digunakan sebagai salah
satu bahan konfirmasi mengenai sebuah kasus untuk diambil suatu kesimpulan.
Detektor bohong, bekerja dengan asumsi bahwa perubahan fisiologik tertentu
diikuti oleh perbuatan bohong. Berbagai perubahan badaniah diukur dengan
menggunakan alat Volygraph yang mana kata-kata netral” atau yang
“kritikal dengan tujuan tertentu” dapat menunjuk pada suatu subjek kebohongan
tertentu. Alat ini tidak akan bekerja apabila orang tidak emosi atau pada saat
orang yang khawatir (anxious).
c. Kegunaan
lain
1)
Pemahaman mengenai emosi yang dikaitkan dengan
aspek kejiwaan lainnya seperti kognisi, memori, motivasi, dan sebagainya, bisa
merupakan pendorong dalam meningkatkan kualitas diri individu misalnya dalam
hal belajar, bersikap, berbuat menyesuaikan norma, memahami anak, generasi
muda, dan sebagainya.
2)
Emosi merupakan daya dorong untuk berbuat.
Kepuasan akan menimbulkan kesenangan dan ketidakpuasan akan menimbukan ketidaksenangan.
Oleh karena itu, emosi merupakan kesenangan sendiri bisa berfungsi sebagai
motif. Demikian pula, apabila seseorang tidak puas, akan menjadi motif
seseorang untuk mencari alternatif lainnya.
3)
Untuk mengetahui perkiraan dari mana seseorang
berasal ditilik dari segi bahasa ekspresinya. Ekspresi emosi sangat ditentukan
oleh konvensi sosial tentang bagaimana biasanya diekspresikan kepada orang
lain. Pada manusia, emosi dikomunikasikan melalui berbagai cara, yaitu melalui
suara, ekspresi wajah, dan lain-lain.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan meningkatnya usia
anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi
orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekali pun emosi itu berupa
kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak
mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan
lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh
sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda. Emosi adalah
pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu
tingkah laku yang tampak. Jenis emosi yang secara normal dialami antara
lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, sedih dan sebagainya.
Emotional Qoutient (EQ) merupakan faktor
penting dalam perkembangan intelektual anak, hal ini sejalan dengan pandangan
Semiawan bahwa stimulasi intelektual sangat dipengaruhi oleh keterlibatan
emosionl, bahkan emosi jugaamat menentukan perkembangan intelektual anak secara
bertahap[9] artinya
secara timbal balik faktor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional.
DAFTAR
PUSTAKA
Uno,
Hamzah. B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Semiawan,
C. 1999. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Hurlock, Elizabet B. 1995. Perkembangan
Anak, Terjemahan Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta:
Erlangga.
Kaphin & Sadock.1992. Emotional Quotient. New York: McGraw-Hill.
Goleman Daniel.1995. Emotional Intelligence. New York:
McGraw-Hill.
Silverman. 1986. Psychology. New York:
Appleton-Century-Crotts.
Atkinson, Rita., Atkinson, Richard., Smith. Edward.,
Bem, Daryl. 1995. Introduction to Psychology. New York: Harc Inc.
[1]
http://hrexcellency.com/2014/03/11/menjadi-orang-tua-ber-eq-tinggi/07-Mei-2014
[2]
http://akurniayuda88.blogspot.com/2014/02/cara-meningkatkan-kecerdasan-emosional.html/07-Mei-2014
[3]
Semiawan, C., Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, (Jakarta: Grasindo, 1999),
hlm.41.
[4]
Kaphin & Sudock, Emotional Quotient, (New York: McGraw-Hill, 1992), hlm. 72.
[5]
Goleman Daniel, Emotional Intelligence, (New York: McGraw-Hill, 1995), hlm. 36.
[6]
Silverman, Psychology, (New York: Appleton-Century-Crotts: 1986), hlm. 124.
[7]
Atkinson, Rita, Atkinson, Richard, Smith. Edward, Bem, Daryl., Introduction to
Psychology, (New York: Harcourt Brase & Company: 1995), hlm. 85-96.
[8]
Hurlock, Elizabet B., Perkembangan Anak, Terjemahan Meitasari Tjandrasa dan
Muslichah Zarkasih, (Jakarta: Erlangga, 1995).
[9]
Semiawan, C., Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, (Jakarta: Grasindo, 1999),
hlm.41.
Post a Comment